TIMES LAMPUNG, LAMPUNG – Di tengah upaya memperbaiki kualitas pendidikan tinggi nasional, banyak perguruan tinggi di Indonesia mengandalkan dosen kontrak berbasis kinerja. Skema ini sejalan dengan semangat gig economy: fleksibel, responsif terhadap target jangka pendek, dan efisien secara anggaran. Namun, pendekatan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang stabilitas karier, beban kerja, dan kontribusi jangka panjang terhadap mutu pendidikan tinggi.
Dalam kontrak dosen, kini lazim dicantumkan key performance indicators (KPI) yang harus dipenuhi dalam masa kerja tertentu: beban SKS, jumlah publikasi ilmiah, perolehan hibah riset, atau keterlibatan dalam pengabdian masyarakat.
Jika tidak terpenuhi, kontrak tidak diperpanjang. Praktik ini makin luas karena fleksibilitasnya dianggap solusi di tengah keterbatasan anggaran dan kebutuhan akan tenaga akademik yang terukur.
Namun, pengalaman negara tetangga seperti Malaysia dapat menjadi cermin sekaligus pelajaran. Sejak awal dekade 2000-an, Malaysia menjadikan pendidikan tinggi sebagai industri strategis. Targetnya ambisius: menjadi education hub di kawasan Asia.
Untuk itu, Malaysia membuka lebar pintu bagi mahasiswa dan dosen asing. Dalam Malaysia Education Blueprint 2015–2025, negeri jiran ini menargetkan 250.000 mahasiswa internasional pada 2025.
Data terbaru dari QS World University Rankings 2025/2026 menunjukkan hasil signifikan: Universiti Malaya (UM) kini berada di peringkat 58 dunia, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) di peringkat 126, serta Universiti Putra Malaysia (UPM) dan Universiti Sains Malaysia (USM) sama-sama menempati peringkat 134. Keberhasilan ini tidak lepas dari strategi agresif rekrutmen dosen asing, peningkatan dana riset, dan sistem kontrak kinerja berbasis publikasi.
Di banyak universitas Malaysia, dosen asing direkrut melalui sistem kontrak berbasis KPI yang ketat, biasanya berdurasi dua hingga tiga tahun. Fokus utama ada pada output riset, publikasi di jurnal bereputasi, dan keterlibatan dalam proyek-proyek internasional, hasilnya nyata.
Dalam kurun satu dekade, publikasi Malaysia di jurnal internasional melonjak tajam. Namun, sistem ini juga bukan tanpa cela. Studi di beberapa universitas negeri di Malaysia menunjukkan adanya tekanan psikologis dan burnout pada dosen asing akibat beban KPI yang tinggi dan ketidakpastian karier jangka panjang.
Turnover dosen asing pun cukup tinggi karena mereka tidak memiliki jalur transisi menuju status dosen tetap. Ini berdampak pada kontinuitas pengajaran dan stabilitas tim akademik.
Roadmap Peningkatan Kinerja Dosen
Jika dibandingkan, situasi dosen kontrak di Indonesia menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Selain beban KPI, banyak dosen kontrak belum memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN), sehingga tidak berhak atas tunjangan profesi, promosi jabatan fungsional, atau akses pendanaan riset.
Akibatnya, motivasi jangka panjang dan loyalitas terhadap institusi menjadi lemah. Untuk membenahi situasi ini, perguruan tinggi di Indonesia perlu membangun roadmap peningkatan kinerja dosen yang bersifat sistemik dan berkelanjutan.
Pertama, setiap institusi wajib merancang sistem evaluasi dosen berbasis KPI yang transparan dan adil. Indikator kinerja tidak boleh hanya terpaku pada kuantitas publikasi, tetapi harus mencakup kualitas pengajaran, dampak pengabdian masyarakat, dan inovasi dalam pengembangan institusi.
Kedua, perlu disusun jalur karier yang terstruktur bagi dosen kontrak agar memiliki prospek yang jelas menuju status dosen tetap. Transisi ini harus didasarkan pada meritokrasi dan kinerja yang konsisten, bukan semata kedekatan personal atau tekanan administratif. Dengan demikian, institusi bisa menjaga retensi talenta akademik sekaligus mendorong loyalitas dan kontinuitas dalam pengembangan keilmuan.
Ketiga, peningkatan kinerja dosen tidak dapat dilepaskan dari sistem insentif dan fasilitas yang memadai. Dosen yang dibebani KPI tinggi harus mendapatkan dukungan konkret dalam bentuk dana riset kompetitif, akses ke jurnal ilmiah bereputasi, pelatihan pengembangan profesional, dan kemudahan kolaborasi internasional. Tanpa itu, KPI hanya akan menjadi tekanan sepihak tanpa alat pemenuhannya.
Keempat, penting bagi setiap institusi untuk membangun ekosistem akademik yang mendorong kolaborasi, bukan kompetisi yang merusak. Target-target kinerja harus diartikulasikan sebagai bagian dari kerja tim dalam program studi atau pusat riset, bukan beban individual yang bersifat isolatif. Kolaborasi dosen dalam satu institusi maupun lintas kampus harus difasilitasi secara struktural.
Terakhir, kelima, pemanfaatan teknologi dan digitalisasi perlu diintegrasikan dalam pemantauan dan pengembangan kinerja dosen. Dengan sistem dasbor kinerja daring, institusi dapat memantau pencapaian setiap dosen secara real-time, memberi umpan balik tepat waktu, serta merancang pelatihan yang berbasis kebutuhan riil dan data empiris.
Sistem kontrak dosen berbasis KPI dapat menjadi alat penting dalam reformasi mutu pendidikan tinggi Indonesia. Namun, jika diterapkan tanpa transparansi, pendampingan, dan prospek karier yang adil, sistem ini justru akan menciptakan ketidakpastian, tekanan psikis, dan retaknya etika akademik.
Malaysia berhasil memanfaatkan sistem kontrak dosen dan KPI untuk mendorong lonjakan reputasi global. Tapi Indonesia tidak bisa hanya menyalin begitu saja. Kita butuh pendekatan yang kontekstual, adil, dan strategis.
Dengan roadmap yang tepat, kita bisa mendorong kinerja dosen sekaligus membangun institusi pendidikan tinggi yang unggul dan berkelanjutan.
***
*) Oleh : Prof. Erry Yulian Triblas Adesta, PhD., Wakil Rektor Bidang Akademik, Riset, dan Inovasi, Universitas Bandar Lampung.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |