https://lampung.times.co.id/
Opini

Kemiskinan dan Terpenuhinya Hak Asasi Anak

Selasa, 08 Juli 2025 - 21:45
Kemiskinan dan Terpenuhinya Hak Asasi Anak Dita Christina S, Statistisi di BPS Provinsi Lampung.

TIMES LAMPUNG, LAMPUNG – Tak bisa dinafikan anak yang lahir dari keluarga kaya tentu akan memiliki keuntungan dibandingkan anak yang lahir dari keluarga miskin. Bahasa gen z zaman sekarang adalah privilege. Bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia memiliki arti hak istimewa. 

Hak istimewa menjadi relevan karena anak terlahir dari keluarga kaya tentu memiliki berbagai keuntungan, seperti contohnya memiliki banyak pilihan untuk bersekolah di tempat terbaik, pilihan untuk mendapatkan pelajaran tambahan dari guru terbaik.

Tidak perlu memikirkan esok hari harus makan apa dan tidur dimana, mampu mencukupi kebutuhan makanan terbaik yang sehat dan bergizi, dan banyak pilihan-pilihan lain yang sulit atau bahkan tak dapat dinikmati oleh anak yang terlahir dari keluarga miskin.

Anak dari keluarga miskin bahkan sejak lahir tidak merasakan apa yang anak keluarga kaya rasakan. Makanan enak, sehat, bergizi yang selalu ada di atas meja makan, rumah yang bersih dan bebas kotoran, kendaraan pribadi yang siap mengantar kemana saja, pakaian bersih yang siap digunakan, serta asisten rumah tangga yang siap membantu kapan saja dibutuhkan. Tentu itu semua adalah “hak istimewa” yang dimiliki oleh anak yang lahir dari keluarga kaya.

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa kondisi lingkungan dan fisik memiliki hubungan dengan perkembangan kecerdasan. Kekurangan gizi akan menyebabkan lingkaran kepala menjadi lebih kecil sehingga mengurangi kemampuan kognitif seseorang.

Peluang dan kesempatan yang tidak sama, menyebabkan anak yang lahir dari keluarga miskin sejak lahir telah menghadapi tantangan dan kesulitan. Kesulitan yang mereka hadapi merupakan kondisi struktural yang diwariskan. 

Kemiskinan menyebabkan peluang dan kesempatan antara si kaya dan si miskin menjadi tidak seimbang. Bahkan si kaya telah memulai garis start jauh di depan si miskin sejak awal kehidupan.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis piramida penduduk Indonesia berbentuk lonceng yang lebar di bagian bawah. Artinya penduduk Indonesia lebih banyak pada usia muda dengan rasio ketergantungan di tahun 2020 sebesar 35,4 artinya 100 penduduk usia produktif menanggung 35 penduduk nonproduktif usia muda.

Kemiskinan Anak dan Kemiskinan Rumah Tangga

Kemiskinan menjadi topik yang tidak ada ujungnya. Topik yang selalu menarik untuk dibahas. BPS menjelaskan kemiskinan itu merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. 

Dengan menggunakan batasan Garis Kemiskinan (GK), yaitu sebuah parameter yang menjadi batasan penghitungan angka kemiskinan. GK mengukur biaya minimum masyarakat untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar dan mampu bertahan hidup.

Kemiskinan anak tak dapat dilepaskan dari kemiskinan rumah tangga. Rumah tangga miskin tentu akan melahirkan anak miskin. Anak yang lahir dari keluarga miskin ini akan kembali melahirkan anak miskin lainnya sehingga menciptakan kemiskinan pada generasi selanjutnya. Namun hal itu terjadi jika anak tersebut tidak mampu mengangkat “derajat” generasinya dan generasi selanjutnya.

BPS menjelaskan pada tahun 2022 persentase penduduk miskin terbesar berada pada kelompok usia anak balita (0-4 tahun). Hal ini menjadi miris karena balita lahir bukan tanpa sebab. Ia lahir atas dasar keinginan ayah dan ibunya. Namun ironisnya, sejak usia yang sangat dini ia sudah masuk dalam kategori penduduk miskin.

Pendidikan, Jalan Lepas dari Jerat Kemiskinan

Kemiskinan bagaikan buhul yang  harus dilepaskan. Simpul erat yang mengikat anak dari keluarga miskin untuk terus hidup dalam kemiskinan. Simpul itu harus segera dilepaskan, salah satunya dengan pendidikan. BPS merilis bahwa 25,92% kemiskinan anak berasal dari keluarga yang Kepala Rumah Tangga (KRT)-nya tidak/belum pernah sekolah. 

Artinya pendidikan KRT berpengaruh pada kemiskinan anak. Ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ni Made Mustika Dewi dan Jeffry Sitorus yang menyimpulkan pendidikan mempengaruhi kemiskinan anak. Bukan hanya pendidikan KRT, sektor pekerjaan utama KRT serta banyaknya anggota rumah tangga menyebabkan kemiskinan anak dapat terjadi.

Pendidikan nyatanya menjadi salah satu solusi untuk keluar dari jerat kemiskinan. Memang tak ada yang dapat memastikan orang dengan pendidikan tinggi akan lebih “sukses” dibandingkan orang dengan pendidikan rendah. Namun, faktanya pendidikanlah yang mampu membuka peluang ekonomi dengan keterampilan dan pengetahuan. 

Pendidikan juga memperlebar koneksi dan relasi pergaulan. Bukan hanya itu, pendidikan membuka akses pada kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih layak. Dalam tulisannya, Veronika Gultom menulis bahwa pendidikan merupakan warisan berharga. 

Hal ini disadari oleh Suku Batak. Dalam budaya masyarakat Batak, pendidikan merupakan salah satu hal yang harus diberikan pada keturunannya untuk mencapai tujuan hidup 3H, yaitu hamoraon (kemakmuran), hasangapon (kehormatan), dan hagabeon (keluarga yang bahagia). 

Ini didukung oleh data BPS yang merilis bahwa pada 2024 suku dengan lulusan sarjana terbanyak adalah Suku Batak sebesar 18,02%. Persentase ini di atas suku-suku lainnya di Indonesia.

Memenuhi Hak Asasi Anak

Setiap anak terlahir dengan kesempatan dan hak yang sama. Ia merupakan amanah yang dititipkan oleh Sang Pencipta. Seorang manusia yang seharusnya memiliki kesempatan untuk hidup bertumbuh dan berkembang dengan baik. Namun karena keterbatasan ekonomi orang tua, kesempatan, peluang, dan pilihan tak mampu ia peroleh. 

Sejak lahir, anak dari keluarga miskin tak merasakan kehidupan layak dan sehat, pendidikan berkualitas, dan perlindungan sosial yang memadai. Keterbatasan ekonomi menyebabkan seringkali mereka harus bergelut dengan kerasnya kehidupan. 

Tak jarang kita melihat anak-anak ini ikut orang tuanya bekerja sehingga mereka harus putus sekolah. Waktu yang sepatutnya ia isi dengan belajar dan bermain, harus digunakan untuk membantu orang tua mencari sesuap nasi.

Lingkaran setan kemiskinan membuat anak dari keluarga miskin lahir dengan berbagai hambatan yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Selain hambatan, ia juga lahir dengan stigma bahwa jika ingin keluar dari lingkaran setan kemiskinan, ia harus belajar lebih keras atau bekerja lebih giat. 

Kemiskinan datang tidak hanya soal “kerajinan” semata. Ia dapat lahir akibat kegagalan negara dalam menciptakan iklim sosial ekonomi yang berpihak pada kaum marjinal. Anak dari keluarga miskin harus hidup tanpa jaminan masa depan dan tumbuh tanpa dukungan untuk mengembangkan potensinya.

Seorang manusia lahir seperti kertas putih yang kosong tanpa cacat dan noda. Sama halnya dengan anak yang lahir dari keluarga kaya, anak yang lahir dari keluarga miskin pun memiliki hak yang sama. 

Ia berhak memperoleh pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang mudah diakses, serta perlindungan yang memadai, tanpa perbedaan dan tanpa diskriminasi.

***

*) Oleh : Dita Christina S, Statistisi di BPS Provinsi Lampung.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Lampung just now

Welcome to TIMES Lampung

TIMES Lampung is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.