TIMES LAMPUNG, JAKARTA – Dunia internasional menyerukan penahanan diri kepada India dan Pakistan yang kembali terlibat konfrontasi militer setelah serangan lintas batas yang menewaskan puluhan warga sipil. Ketegangan ini memunculkan kekhawatiran serius mengingat kedua negara memiliki senjata nuklir dan sejarah panjang konflik di wilayah Kashmir.
Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, memperingatkan bahwa dunia tidak dapat menanggung risiko konfrontasi bersenjata antara India dan Pakistan. Ia menyerukan “pengekangan militer maksimum” dari kedua belah pihak.
Ketegangan meningkat sejak India melancarkan serangan pada Selasa malam hingga Rabu dini hari (6-7 Mei 2025) ke sejumlah lokasi di Pakistan dan wilayah Kashmir yang dikuasai Pakistan. Serangan ini diklaim sebagai respons atas serangan militan dua pekan lalu yang menewaskan 26 wisatawan India dan satu warga Nepal di Kashmir India.
Polisi India menuduh dua pelaku penyerangan berasal dari Pakistan, sementara pemerintah Pakistan membantah terlibat dan menyebut tuduhan India tidak berdasar.
Sementara itu, Pakistan menyebut serangan India sebagai bentuk “terorisme” dan mengklaim 31 warga sipil tewas, termasuk anak-anak dan perempuan. Serangan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap gencatan senjata di Garis Kontrol (LoC) yang telah diperbarui pada Februari 2021.
“Pihak Pakistan menargetkan wilayah sipil di daerah Karnah, menembakkan peluru dan mortir setelah tengah malam,” kata pejabat India. Serangan balasan oleh tentara India menyasar posisi militer dan infrastruktur terduga militan di Pakistan dalam operasi bertajuk "Operasi Sindoor".
Reaksi Internasional
Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, menyebut ketegangan ini sebagai “keprihatinan serius” dan mendesak kedua negara untuk mencari jalan diplomatik.
“Saya telah menjelaskan kepada rekan-rekan saya di India dan Pakistan bahwa jika ini terus berlanjut, tidak ada yang menang,” tegas Lammy, sembari menekankan prioritas Inggris untuk melindungi warganya di wilayah konflik.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyebut eskalasi ini sebagai sesuatu yang “memalukan” dan menyatakan kesediaannya untuk terlibat dalam penyelesaian damai.
“Saya ingin ini dihentikan. Dan jika saya bisa melakukan sesuatu untuk membantu, saya akan melakukannya,” ujar Trump.
Kementerian Luar Negeri China menyatakan keprihatinan dan menyayangkan operasi militer India. Mereka menyerukan agar kedua negara "tetap tenang dan tidak memperumit situasi."
Dari Eropa, Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, mengakui hak India untuk melindungi warganya dari terorisme, namun menekankan pentingnya menahan diri untuk menghindari eskalasi lebih lanjut.
Sementara itu, Iran turut melakukan diplomasi aktif. Menteri Luar Negeri Iran, Seyed Abbas Araghchi, telah melakukan kunjungan ke Islamabad dan Delhi dalam upaya mediasi.
Dampak Kemanusiaan
Konflik ini menimbulkan dampak luas bagi warga sipil. Penembakan Pakistan pada 7-8 Mei menewaskan 13 orang, termasuk empat anak-anak dan seorang prajurit India. Sebanyak 57 lainnya terluka.
Ratusan warga perbatasan di distrik Poonch, Rajouri, Baramulla, dan Kupwara terpaksa mengungsi ke bunker bawah tanah atau tempat perlindungan darurat lainnya. Penembakan menghancurkan rumah, kendaraan, hingga bangunan keagamaan seperti Gurdwara.
Konflik terbaru ini menjadi ujian besar bagi diplomasi global. Dengan meningkatnya korban dan kekhawatiran atas potensi perang terbuka, para pemimpin dunia sepakat bahwa eskalasi harus dihentikan segera.
Meski tensi masih tinggi, harapan tetap terbuka melalui jalur diplomatik, yang kini digencarkan oleh negara-negara besar demi menghindari tragedi kemanusiaan yang lebih luas.(*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Konflik India-Pakistan Meningkat, Pemimpin Dunia Desak Kedua Negara Nuklir Tahan Diri
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Imadudin Muhammad |