TIMES LAMPUNG, BANTUL – Siapa sangka, di balik rumitnya motif batik tradisional, tersimpan pelajaran penting tentang kesehatan kerja dan keberlanjutan lingkungan. Itulah yang dirasakan para mahasiswa internasional peserta International Summer Course UGM 2025 saat belajar membatik langsung di Desa Batik Giriloyo, Wukirsari, Kabupaten Bantul.
Program yang diinisiasi oleh Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM ini merupakan hasil kolaborasi dengan Fakultas Kedokteran Gigi dan Fakultas Farmasi, mengusung tema global: “Promoting Resilient Workplaces and Sustainable Environments for Global Health Equity.”
Tahun ini, kegiatan diikuti oleh puluhan mahasiswa dari berbagai negara - mulai dari Belanda, Thailand, Pakistan, hingga Myanmar bersama sejumlah mahasiswa dari universitas dalam negeri seperti Universitas Pattimura dan Universitas Islam Internasional Indonesia.
Pagi itu, suasana Desa Giriloyo ramai. Di bawah naungan pohon jati, para mahasiswa tampak tekun memegang canting dan mencelupkannya ke malam (lilin cair). Mereka mencoba membuat motif batik dengan bimbingan para perajin lokal.
Bagi Johan, mahasiswa asal Belanda, pengalaman membatik adalah sesuatu yang baru sekaligus menantang. Ia mengaku kagum dengan ketelitian para pembatik yang harus berjam-jam duduk untuk menghasilkan selembar kain batik yang indah.
“Membatik di luar ruangan ini menyenangkan, tapi sebaiknya ada alat pelindung diri seperti sarung tangan agar tidak terkena panas malam,” ujar Johan, Selasa (4/11/2025).
Sementara itu, Michelle, teman senegaranya, justru tertarik dari sisi ergonomi kerja para pembatik. Ia menilai pekerjaan ini bisa berdampak pada postur tubuh jika dilakukan terus-menerus tanpa peregangan.
“Saya pikir mereka bisa melakukan olahraga kecil di sela waktu membatik, agar punggung tetap sehat dan tubuh tidak pegal,” katanya memberi saran.
Komentar-komentar mereka menjadi refleksi menarik: kegiatan membatik ternyata bukan hanya soal seni dan budaya, tapi juga tentang kesehatan kerja — hal yang menjadi topik utama Summer Course tahun ini.
Sepuluh Tahun Kolaborasi Internasional
Wakil Dekan Bidang Akademik & Kemahasiswaan FK-KMK UGM, dr. Ahmad Hamim Sadewa, Ph.D., menyebut kegiatan ini merupakan bagian dari kolaborasi jangka panjang UGM dengan Vrije Universiteit Amsterdam yang sudah berjalan selama sepuluh tahun.
“Tahun ini kita bahas tentang kesehatan global dan kesetaraan lingkungan kerja. Banyak hal yang bisa dipelajari dari industri tradisional seperti batik,” jelasnya.
Dengan menggabungkan konsep medis, kesehatan masyarakat, dan budaya lokal, Summer Course ini memberikan pengalaman lintas disiplin yang jarang ditemui di kampus lain.
Koordinator kegiatan lapangan, Dr. Drs. Abdul Wahab, MPH., menjelaskan bahwa selain membatik, mahasiswa juga mengunjungi puskesmas dan lokasi industri kecil untuk memahami praktik keselamatan kerja.
“Mereka belajar langsung bagaimana upaya pencegahan penyakit akibat pekerjaan dilakukan di lapangan,” tuturnya.
Pendekatan hands-on learning ini membuat para peserta tak hanya mengandalkan teori, tetapi juga memahami konteks sosial dan budaya di balik penerapan kesehatan kerja di Indonesia.
Giriloyo, Desa Batik yang Mendunia
Dalam kesempatan itu, para mahasiswa juga mendengarkan penjelasan dari Tiyastiti Suraya, S.Si., M.E.M, pengelola Desa Batik Giriloyo. Ia menceritakan bahwa Giriloyo baru saja dinobatkan sebagai salah satu desa wisata terbaik dunia tahun 2024.
“Kami memperkenalkan batik bukan hanya sebagai produk, tapi juga sebagai filosofi hidup masyarakat. Membatik mengajarkan kesabaran, ketelitian, dan harmoni,” katanya.
Para mahasiswa pun tampak antusias mengabadikan momen tersebut, sebagian bahkan membawa pulang kain batik hasil karya mereka sendiri.
Ketua Tim Internasionalisasi FK-KMK UGM, dr. Dwi Aris Agung Nugrahaningsih, M.Sc., Ph.D., berharap kegiatan ini bisa menanamkan pemahaman lebih luas tentang pentingnya pencegahan risiko kerja dan kesehatan global.
“Kami ingin mereka belajar bahwa kesehatan itu tidak hanya soal mengobati pasien, tapi juga bagaimana mencegah risiko sejak awal,” ujarnya.
Bagi para peserta, pengalaman membatik di Giriloyo menjadi pelajaran berharga tentang budaya, kesehatan, dan cara masyarakat menjaga keseimbangan antara tradisi dan kesejahteraan. Dari Yogyakarta, nilai-nilai itu kini dibawa pulang ke berbagai penjuru dunia. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Dari Giriloyo Bantul untuk Dunia: Mahasiswa Asing Belajar Membatik dan Kesehatan Kerja
| Pewarta | : A Riyadi |
| Editor | : Ronny Wicaksono |