TIMES LAMPUNG, LAMPUNG – Belakangan ini, publik dikejutkan oleh kebijakan pembekuan sepihak terhadap rekening-rekening yang dianggap “pasif” oleh bank dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Alasan yang diusung terdengar mulia: demi perlindungan konsumen dan mencegah penyalahgunaan rekening untuk kejahatan keuangan seperti judi daring, penipuan, dan pencucian uang.
Namun, di balik narasi perlindungan itu, tersembunyi praktik yang justru merugikan konsumen sejati. Banyak nasabah, termasuk mahasiswa dan warga miskin yang menabung untuk biaya kuliah atau pengobatan, mendapati dana mereka terkunci tanpa peringatan memadai. Beberapa di antaranya bahkan gagal membayar UKT atau terlambat menjalani tindakan medis karena rekening mereka “dibekukan secara preventif”.
Apakah ini bentuk perlindungan atau pengabaian terhadap hak dasar masyarakat?
Perlindungan yang Kontradiktif
Dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ditegaskan bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan barang dan/atau jasa, termasuk jasa keuangan. Pemblokiran tanpa notifikasi yang layak dan tanpa proses klarifikasi yang adil adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip tersebut.
Pada bulan Juli 2024, PPATK menyatakan telah memblokir lebih dari 4.000 rekening dormant dalam satu bulan, dengan alasan sebagian besar digunakan untuk menampung dana hasil judi daring dan penipuan online.
Namun, dalam pelaksanaannya, ditemukan pula sejumlah rekening pasif milik mahasiswa dan orang tua yang tidak pernah terkait aktivitas kriminal ikut dibekukan karena status “tidak aktif selama 3 bulan,” (Kompas, 9 Juli 2024).
Laporan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat bahwa dalam dua minggu sejak kasus ini mencuat, mereka menerima 38 pengaduan dari masyarakat, mayoritas dari kalangan mahasiswa dan pekerja informal, yang mendapati dana pendidikan, donasi pengobatan, hingga simpanan pensiun mereka tidak bisa diakses.
Apakah seluruh rekening tidak aktif otomatis terasosiasi dengan kriminalitas? Ini adalah simplifikasi berbahaya.
Asas Praduga Tak Bersalah Dilanggar
Dalam negara hukum, asas presumption of innocence harus dijunjung tinggi. Pemblokiran rekening pribadi tanpa bukti konkret tindak pidana dan tanpa mekanisme pembelaan yang transparan adalah bentuk penghukuman sepihak.
Padahal, UU Tindak Pidana Pencucian Uang No. 8 Tahun 2010 dan Peraturan PPATK No. 18 Tahun 2017 mengharuskan adanya indikasi kuat dan proses formal untuk menghentikan transaksi. Status pasif atau dorman bukan merupakan alasan hukum yang berdiri sendiri untuk pembekuan.
Bahkan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), dalam siaran persnya tanggal 11 Juli 2024, mengingatkan bahwa tindakan pembekuan rekening oleh bank atas permintaan lembaga eksternal wajib mengikuti prinsip kehati-hatian dan tidak boleh melanggar hak nasabah. Sayangnya, dalam praktik, koordinasi antarlembaga belum cukup kuat untuk memastikan hal itu terjadi.
Kepercayaan Tergerus, Inklusi Keuangan Terancam
Indonesia sedang gencar mendorong inklusi keuangan nasional. Target inklusi keuangan 2024 adalah 90 persen populasi dewasa memiliki akses ke produk dan layanan keuangan formal, sebagaimana tercantum dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI).
Namun, pembekuan sepihak atas rekening kecil tanpa proses transparan justru menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem perbankan. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada April 2024 menunjukkan bahwa 42% responden masyarakat berpenghasilan rendah lebih memilih menyimpan uang di luar sistem perbankan karena takut rekening mereka dibekukan secara sepihak.
Alih-alih melindungi, tindakan ini berpotensi meminggirkan lagi masyarakat dari layanan keuangan formal, yang mendorong mereka kembali pada praktik simpan bawah bantal atau ke lembaga keuangan informal yang berisiko tinggi.
Urgensi dan Rekomendasi
Langkah PPATK dan bank tentu bertujuan baik: memberantas kejahatan keuangan yang marak menggunakan rekening palsu atau tidak aktif. Namun pelaksanaannya perlu proporsional, transparan, dan akuntabel.
Beberapa rekomendasi konkret: Pertama, Notifikasi aktif dan berkala bagi rekening yang mendekati status pasif, melalui SMS, email, atau aplikasi mobile banking, minimal 30 hari sebelum status berubah.
Kedua, Mekanisme keberatan dan klarifikasi daring yang mudah diakses dan cepat ditangani bagi nasabah yang terdampak.
Keempat, Diferensiasi berbasis risiko antara rekening dorman biasa dan rekening dengan aktivitas mencurigakan, berdasarkan transaction behavior profiling.
Kelima, Audit eksternal berkala oleh OJK, dengan pelaporan publik tentang jumlah rekening yang dibekukan, dasar pembekuannya, dan berapa yang akhirnya terbukti terlibat tindak pidana.
Keenam, Kampanye literasi digital dan keuangan yang seimbang: bukan hanya soal membuka rekening, tetapi juga mempertahankan aktivitas dan menjaga keamanan data pribadi.
Membendung Kejahatan, Melindungi Rakyat dari Ketidakadilan
Mengorbankan masyarakat yang tidak bersalah demi membendung kejahatan justru melemahkan prinsip keadilan. Negara harus hadir melindungi rakyat, bukan menambah penderitaan mereka lewat sistem yang tidak berpihak.
Jika rekening mahasiswa diblokir hingga tak bisa bayar kuliah, atau rekening warga miskin dibekukan hingga gagal berobat, maka “perlindungan” yang digembar-gemborkan tidak lebih dari slogan kosong.
Dalam demokrasi yang sehat, perlindungan hukum tak boleh hanya milik segelintir, melainkan hak setiap warga negara, termasuk mereka yang hanya punya satu rekening, kecil nominalnya, tapi besar artinya bagi hidup mereka.
***
*) Oleh : Prof. Erry Yulian Triblas Adesta, Ph.D., Wakil Rektor Bidang Akademik, Riset, dan Inovasi Universitas Bandar Lampung.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |